Selasa, 12 Juli 2011

Salendang Sumbawa

Oleh Usman D.Ganggang

Malam kian rentang, sepanjang apa yang aku pikirkan.Bahkan sunyi mendekap, kian ketat -  melekat. Sayang, pulau kapuk yang merupakan tempat aku berlabuh saban malam terasa menjauh dari keinginanku. Ada apa ini, batinku. Eh… tiba- tiba daun telingaku bergetar dan karena getaran aku mulai berkonsentrasi. Haem…, kata-kata Adinda terngiang kembali,” “Abang, ini salendang Sumbawa, kalungkan di lehermu, jika  idemu kian buntuh. Lalu, cubitlah hidungku, Abang pasti tersenyum puas”, saran Adinda dua tahun silam saat HUT Adinda dimeriakan di gedung mega itu.
Aku ingat betul dan masih terngiang saat ini. Kini, di April ini,  aku malah merindukan colotehmu tentang: perempuan di antara wanita, tentang  walikota, tentang  gubernur, dan juga tentang masalah cintamu, nyanris terpendam bersama lumpur kian menggunung, hehe. hehehe… sampai  mengobrak – abrik isi perutku.
Pasalnya, celoteh – celoteh segarmu membuat aku melirik persoalan perbedaan antara perempuan dan wanita, persoalan politik dan  pendidikan, lalu,  hokum dan  sastra, serta pergolakan lainnya yang justru mendorong aku kian merindukan Adinda. Iya, terutama saat ini, saat HUT-mu yang ke berapa, aku lupa tuh. “Pasti Adinda ingat aku yang lagi bodoh memaknai Salendang Sumbawa yang Adinda kalungkan, eh…ternyata maknanya,  menjawab rindumu yang kian membuncah”, gumamku.

Iya, aku yakin, kalau tidak, mengapa daun telingaku bergetar – getar oleh lentingan pengiangan yang cukup panjang. Kata ibuku ketika aku kecil, kalau telinga terngiang – ngiang so  pasti ada yang menyebut namaku. “Nah, ini pasti Adinda yang sebut namaku kan? Mengingatkan aku untuk kembali memaknai Salendang Sumbawa yang Adinda pernah kalungkan sekaligus meminta aku untuk menorehkannya dalam coretan. Bukankah begitu maksudnya? ” kembali aku menggumam sekaligus menyebut namamu,  Adinda.

OK Adinda. Bagaimana wartamu? Masih tetap sehat dan lancar – lancar aja khan rezekimu? Juga kegiatan rutinmu yang buanyaak itu. Syukurlah kalau begitu. Aku juga idem ko! Sehat, luar – dalam, hahahaha…” Dalam mananya?” tanyamu. “ Ah.., harus berpikir jernihlah! Kenapa di otakmu Adinda, selalu berpikir yang bukan- bukan?” gugatku sembari pasang senyum pada bibir tentunya.

Saat ini, kangenku banget lho! Cerita – ceritamu yang menggugah, jarang kubaca, apa adinda sudah istirahat dalam facebook-an? Padahal,  aku adalah orang yang paling suka dengan celotehmu yang membikin perutku sakit lantaran aku tertawa terpingkal - pingkal. Ke mana aja… sih?  Apakah Adinda  sudah lupa ama Abang besarmu ini? Waduh… saking sibuknya,  aku juga tak punya waktu untuk kirim warta sekaligus coretan-coretanku tentang Salendang Sumbawa,  ke alamatmu. Maafkan aku Adinda. “Bukankah Adinda orang baik sedunia?” pujiku sejujurnya.
 “Haem,…. Ada maunya!” cubit Adinda sekenanya.
“Kalau ada, Adinda apakan aku?” balasku cukup serius
“Ah…, terserah akulah”, desismu.
“Waduh…, baru jumpa aja ko dibuka dengan marah - marah”
“Lalu, siapa yang memulai?” gertakmu tak mau kalah sembari menambahkan,”Abang juga yang mengakhirinya”.
“Hehehehe…, kayak lagu di sinetron aja. Iya, sebenarnya, Adinda-lah yang memulai, karena Adinda tidak hadir lagi di FB untuk membahas ide segarmu tentang makna “Salendang Sumbawa”. Tapi,Ok-lah, karena aku  adalah orang baik sedunia , tentu menurut Adinda juga, hehehe…, Aku pun,berdoa, insya Allah Salendang Sumbawa tetap menjadi bagian dari pembahasan Adinda pada HUT-mu  dan tentu aku selalu kirim profisiat.

Oh ya, aku ingat, mengapa Adinda rasanya, sedikit malas bermain di FB. Adinda maunya, supaya aku hadir terus dalam FB sekaligus mengirim kado berupa tulisan ke dinding. Selain itu, mungkin ini dasarnya, karena aku sudah mulai berkurang menulis tentang Salendang Sumbawa dengan segala problemnya. Padahal Andida suka sekali dengan dunia politik , hukum. dan perempuan.  Lagi,  karena suatu ketika, Adinda pernah minta fotocopi artikelku juga puisiku tentang wanita Sumbawa,  tentang pendidikan Sumbawa, hukum Sumbawa dan  tentang politik- politik ala Sumbawa, dan aku ingat, “Salendang Sumbawa”  yang disukai Adinda kan?

Iya, aku paham sumbernya. Tapi mengapa Adinda sudah jarang bermain di FB? Mengapa seakan – akan sudah melupakan sahabat – sahabatmu, termasuk aku Abangmu , kan? Hehehe….., “Iya, siapa dulu Abangnya?” tanyamu serius.
“Mungkin lagi sibuk mempersiapkan diri untuk mendirikan partai baru… ya? Atau mempersiapkan diri untuk Pilkada 2013 mendatang?”tanyaku mengejar  cita – cita Adinda yang pernah diceritakan dua tahun silam. Konkretnya, Adinda’ kan mau  jadi walikota di tahun mendatang.Selanjutnya, kalau memungkinkan Sumbawa punya otonomi sendiri, pasti bercita – cita jadi gubernurnya, hehehe…

Iya, ada benarnya, kalau kini Adinda  lagi sibuk. Soalnya, kalau di tahun 2012 baru mulai bergerak, bisa aja terlambat. Lagi pula khan saat ini ada partai baru dan Adinda pasti mendukungnya.  Seperti Adinda berkomentar  ,kali lalu, “Siapa bilang perempuan enggak bisa jadi bupati? Jadi anggota DPR?, Jadi Camat?, Jadi walikota?,dan presiden?”,  tanyamu serius.
Wah… aku sampai nggak ingat lagi ( karena terlalu lama!) Kapan wartamu terakhir Adinda yang aku terima? Seingatku, sebulan setelah aku kirim artikel, saat itu Adinda minta  kirimkan  warta sekaligus artikel gress-ku , itu juga katamu,  yang bertopik,” Abunawas, suara, uang, dan walikota”. Sayang sekali, artikel itu dipinjam teman lalu hilang, katamu juga.  Seingatku, Adinda  menyinggung- nyinggung makna  “7 S”dari artikelku. Lalu, Adinda bilang, artikel itu penting apalagi katamu juga, mau  ikut Pilkada. Saat itu, Adinda butuh yang “7 S” itu. “Luar biasa, dari aktivis ke walikota dan akan terus ke jadi gubernur”,gumamku .

 “Bang Usman , tolong kirimi aku artikelmu itu”, pintamu saat itu. Sedang sebelumnya, aku kirim artikel tentang  “Provinsi Sumbawa, Mengapa tidak?” Dua artikel itu,ternyata dapat memotivasi Adinda untuk ikut berlaga dalam Pilkada kali lalu. Dan karena tidak berhasil keluar jadi pemenang, akhirnya Adinda berkeinginan lagi untuk berlaga di tahun mendatang. Adinda, percayalah, aku  dukung cita – citamu! Meski untuk Sumbawa saat ini gencar dibahas, tapi dalam hati Adinda akan terpikir juga mau jadi gubernurnya.Hehehe..
“Mana buktinya? Tanya Adinda.
“Tunggu aja, meski aku bukan pengusaha, tapi aku punya modal”.
“Modal apa tuh?”
“Yang jelas bukan modal dengkul”,jawabku.

Adinda, aku pun berterimakasih karena meski aku  bukan kelahiran Sumbawa, ternyata Adinda mengalungkan aku Salendang Sumbawa,  saat  artikelku tentang “Provinsi Sumbawa,Mengapa Tidak?”.Katamu pada waktu itu,” Dukung cita –citaku, Bang!” ujarmu. Apalagi pulau Sumbawa itu ,demikian Adinda, wilayahnya sangat  luas. Sementara rakyat berusaha untuk mendekatkan diri dengan program – program pemerintah. Meski begitu,katamu juga,  aku minta, Bang Usman untuk  mewawancari tokoh-tokoh masyarakat, tokoh pemerintahan setempat, tokoh – tokoh agama? Dan jangan lupa tokoh – tokoh muda  yang berkecimpung di organisasi.” Ide – ide mereka cemerlang ko”, sanjungmu pada waktu itu..

Ah.. Bang Usman, hampir lupa nih! Aku khawatir juga dengan keadaanmu dan daerahmu. Soalnya, daerahmu akhir – akhir ini suhunya memanas lagi, jangan – jangan lingkungan sekitar Adinda kena imbasnya. Iya, daerahmu, terkenal dengan demo terus – menerus, perang tanding pun tak terelakan. Apa benar Adinda?”Kalau benar, bagaimana lagi kita bersatu untuk membentuk provinsi Sumbawa?”ujarmu.
Ok, Adinda, aku mau jawab rindumu sekarang. Keinginanmu untuk berlaga di Pilkada mendatang, aku dukung. Dan seterusnya juga untuk jadi gubernur Sumbawa. Hehehe…Dan Tentang “7 S” itu, arsipnya sudah hilang. Tapi aku masih ingat alurnya.  S pertama, adalah sosok. Mau jadi pemimpin memang harus didukung dengan sosok yang pantas. S kedua, Suku. Seorang yang mau jadi pemimpin untuk saat ini harus punya suku termasuk sahabat. S ketiga adalah saku tebal. Kalau Adinda mau  berlaga lagi, harus mempunyai saku tebal. S keempat, selip, artinya, sosok yang mau jadi pemimpin itu harus bisa hidup di mana saja. S kelima, sulap, artinya sosok yang diharapkan adalah sosok yang punya konsep untuk membangun daerahnya. S keenam, Spiritual, sosok yang paham tentang agama yang dianutnya. Dan S ketujuh, bisa Sikut, artinya sosok yang berkeinginan jadi pemimpin itu, punya penjaga (keamanan)sehingga kalau ada yang sikut pasti dibalas dengan sikut juga.

Lalu, tentang wawancaraku terkait dengan provinsi Sumbawa yang Adinda tanyakan itu, sudah ada. Nanti baca aja di harian di kotamu. Yang jelas,. Masyarakat Sumbawa, sudah siap bahkan pemimpinnya sudah diiklankan,  hehehe…, gimana? Insya Allah rindumu terjawab sudah. Tapi kalau belum, percayalah, aku masih bersamamu meski lewat doaku setiap malam.Dan bukankah,”Kerinduan Anda, adalah juga kerinduanku juga?”komitmen kita dua tahun silam saat aku kalungkan lagi salendang Jakarta buat Adinda.

Ah… malam kian rentang, abang mau istirahat. Abang tunggu jawabanmu terkait dengan permintaanku , iya, soal Salendang Sumbawa itu. Soalnya, Adinda dekat dengan api. Kepada siapa lagi kerinduan,  kutumpahkan? Aku masih seperti dulu, ko? Jangan pernah ragu Adinda!  Aku, Abang setiamu sedunia.
 Aku akhiri jumpa kita kali ini,  terimalah salam rinduku. Dan tetap menunggu wartamu beserta artikel – artikelmu! Ohya, jangan lupa salam hangat buat sahabatmu si Nurferhati di Bima, Nurhayati di Bekasi, Veronika Jemina di Kupang, Marwah Andi di Makasar, Ria Fatima Ningsih  di Jogya, Sulastri di Surabaya, dan Anggi Butar – Butar di Medan.

Pondok Reot, Medio Maret 2011

Menjenguk Bung Karno (Sebuah kado buat Bung Yulius yang sedang melakukan kegiatan pameran foto)

(dzikir dan doa dilantun seirama langkah peziarah)

Hari-hari berlalu begitu cepat. Tak terasa hampir sebulan aku menghirup udara Kota Dingin Malang. Kota pelajar yang disebut – sebut mahasiswa asal Indonesia Timur. Iya, rasanya belum lengkap hanya menghirup udara Kota Malang dengan segala kebisingannya sekaligus kesibukan warganya. Karena itu, ketika  hari Minggu tiba, aku bersama teman –teman utusan dari seluruh Indonesia mengitari objek – objek wisata seputar Kota malang seperti : Selecta, Batu, dan tempat wisata lainnya.

Objek – objek yang dikunjungi ini sungguh menawan terutama bagi kami yang baru menginjakkan kaki di di Jawa. Kendati demikian, yang tersimpan cukup lama dalam hati kami  masing – masing adalah lokasi peristirahatan terakhir Sang Proklamator, Bung Karno. Itu pula sebabnya, kami tidak lama – lama di objek – objek lainnya seperti tersebut di atas.

Iya, cuaca siang itu mendung. Namun demikian, niat kami terus menyala-nyala dan langsung menuju lokasi yang menjadi tujuan. Setelah beberapa jam menahan dinginnya udara di sepanjang jalan, kami pun disambut Kota Blitar yang merupakan salah satu kota terbersih di Jawa Timur. Hanya sebentar kami istirahat, kemudian terus menuju kompleks makam Bung Karno.

Di depan gapura makam, suasananya lebih meriah. Para penjual bunga kewalahan melayani pembeli.Kami pun tidak ketinggalan membeli bunga karena stelah mendapat informasi dari warga sekitar kompleks, harus membeli bunga, maka masing-masing kami merogo saku membeli bunga yang sudah dimasukkan di dalam plastic sehingga kami tinggal menaburkannya di depan makam Bung Karno.

Kunjungan kami terhambat sebentar karena para pengemis pun tampaknya juga giat mencari rezeki, meskipun harus kucing – kucingan di depan petugas. Selain itu, para penjual cendra mata pun menyodor-nyodor barang dagangannya. Ya, cukup menyakitkan juga walau diakui bahwa kegiatan semacam itu, merupakan cirri khas kota pariwisata. Daripada lama – lama, kami pun beli membeli – yang sebenarnya sepulang dari makam- apalagi waktu untuk kami hanya 10 menit. Dan ketika waktu untuk kami tiba, segralah kami masuk melalui pintu masuk arah timur makam. Suasana  di dalam kompleks makam seluas kurang lebih 1 hektar itu dipadati oleh peziarah yang antri menaburkan bunga. Doa dan zikir melantun mengiringi langkah peziarah. Suasana terkesan  khusyuk dan hikmat, kendatipun peziarah harus duduk berdesakan di samping makam.

Pezirah yang naik tangga tempat menabur bunga harus melepaskan sepatu atau sandal. Karena memang dilarang masuk ke dalam dengan menggunakan sepatu atau sandal.Peziarah hanya menyaksikan makam dari luar dinding kaca yang tembus pandang.Di dalam ruang itulah Bung Karno istirahat diapiti makam ayah dan ibundanya. Di batu nisan jelas terbaca tulisan: BUNG KARNO PROKLAMATOR KEMERDEKAAN DAN PRESIDEN PERTAMA REPUBLIK INDONESIA.

Mencermati tulisan tersebut, aku teringat guru sejarah ketika duduk di bangku SMA di Ruteng-Manggarai NTT. Beliau dengan semangat mengatakan bahwa Bung Karno itu adalah seorang pemipin besar yang diakui bangsa lain seantero dunia.Diberi julukan demikian karena kepemimpinannya baik pada waktu memimpin perjuangan maupun sesudah memimpin Negara selama 20 tahun. “Sebutan demikian tidaklah berarti beliau tidak pernah keliru. Sebagai manusia biasa tentu pernah salah dalam bertindak”, ujar guru sejarahku. Kata-kata ini terngiang –ngiang saat aku menaburkan bunga dan sekerat doa kukirim buat Bung Karno serta ayah bundanya.

Indormasi yang sempat dicatat, pada hari – hari tertentu ada yang dianggap sebagai hari yang penuh berkah  dan rahmat . “Banyak peziarah yang mengunjungi makam Bung Karno tidak hanya mengirim doa tetapi juga mohon berkah”,kata seorang warga yang ditemui penulis usai mengitari kompleks makam tersebut.

Sebelum keluar komplek penulis sempat berpose di depan makam sebagai bahan cerita untuk anak cucu di kemudian hari. Rekan – rekan saya pun meminta untuk mengabadikan peristiwa kunjungan itu. Ada yang lain menginginkan agar fotonya langsung jadi. “Yang barangkali agak kurang enak, seperti diceritakan di atas tadi, adalah kehadiran pengemis di seputar kompleks. Dengan berebut meminta menghalangi perjalanan orang”, demikian kesan seorang teman. “Selain itu, para penjual cindra mata yang berkumpul – kumpul di depan pintu masuk komplek makam. Padahal kalau ditunggu saja di pintu luar, pasti peziarah akan membeli seseuai dengan keinginannya”, sambung yng lainnya.

Di Blitar memang tidak sulit mencari barang-barang keinginan peziarah. Benda – benda kerajinan seperti asbak, yoyo, kinangan, lampu gantung, lampu temple, celengan, catur, dan kaos bergambar Bung Karno tersedia, tinggal kita pilih sesuai dengan keinginan kita.

Menyebut Blitar ternyata bukan hanya menyimpan nilai historis, Blitar pun menyimpan berbagai pesona. Boleh jadi, kehadirannya dan keberadaannya pun setiap hari para turisbaik wisatawan nusantara (wisnu) maupun  wisatawan mancanegara (wisman)  xsenatiasa mengunjungi kota yang menyerupai mutiara itu. Ia senantiasa memancarkan sinarnya ke seluruh pelosok dunia. Kapan Anda ke sana?  Ya, kalau ke Jawa Timur, jangan lupa jenguk Sang Proklamator Bung Karno, presiden pertama republik Indonesia.

Catatan: IUsman D.Ganggang kelahiran NTT, kini berdomisili di Kota Kesultanan Bima*)