Selasa, 12 Juli 2011

Menjenguk Bung Karno (Sebuah kado buat Bung Yulius yang sedang melakukan kegiatan pameran foto)

(dzikir dan doa dilantun seirama langkah peziarah)

Hari-hari berlalu begitu cepat. Tak terasa hampir sebulan aku menghirup udara Kota Dingin Malang. Kota pelajar yang disebut – sebut mahasiswa asal Indonesia Timur. Iya, rasanya belum lengkap hanya menghirup udara Kota Malang dengan segala kebisingannya sekaligus kesibukan warganya. Karena itu, ketika  hari Minggu tiba, aku bersama teman –teman utusan dari seluruh Indonesia mengitari objek – objek wisata seputar Kota malang seperti : Selecta, Batu, dan tempat wisata lainnya.

Objek – objek yang dikunjungi ini sungguh menawan terutama bagi kami yang baru menginjakkan kaki di di Jawa. Kendati demikian, yang tersimpan cukup lama dalam hati kami  masing – masing adalah lokasi peristirahatan terakhir Sang Proklamator, Bung Karno. Itu pula sebabnya, kami tidak lama – lama di objek – objek lainnya seperti tersebut di atas.

Iya, cuaca siang itu mendung. Namun demikian, niat kami terus menyala-nyala dan langsung menuju lokasi yang menjadi tujuan. Setelah beberapa jam menahan dinginnya udara di sepanjang jalan, kami pun disambut Kota Blitar yang merupakan salah satu kota terbersih di Jawa Timur. Hanya sebentar kami istirahat, kemudian terus menuju kompleks makam Bung Karno.

Di depan gapura makam, suasananya lebih meriah. Para penjual bunga kewalahan melayani pembeli.Kami pun tidak ketinggalan membeli bunga karena stelah mendapat informasi dari warga sekitar kompleks, harus membeli bunga, maka masing-masing kami merogo saku membeli bunga yang sudah dimasukkan di dalam plastic sehingga kami tinggal menaburkannya di depan makam Bung Karno.

Kunjungan kami terhambat sebentar karena para pengemis pun tampaknya juga giat mencari rezeki, meskipun harus kucing – kucingan di depan petugas. Selain itu, para penjual cendra mata pun menyodor-nyodor barang dagangannya. Ya, cukup menyakitkan juga walau diakui bahwa kegiatan semacam itu, merupakan cirri khas kota pariwisata. Daripada lama – lama, kami pun beli membeli – yang sebenarnya sepulang dari makam- apalagi waktu untuk kami hanya 10 menit. Dan ketika waktu untuk kami tiba, segralah kami masuk melalui pintu masuk arah timur makam. Suasana  di dalam kompleks makam seluas kurang lebih 1 hektar itu dipadati oleh peziarah yang antri menaburkan bunga. Doa dan zikir melantun mengiringi langkah peziarah. Suasana terkesan  khusyuk dan hikmat, kendatipun peziarah harus duduk berdesakan di samping makam.

Pezirah yang naik tangga tempat menabur bunga harus melepaskan sepatu atau sandal. Karena memang dilarang masuk ke dalam dengan menggunakan sepatu atau sandal.Peziarah hanya menyaksikan makam dari luar dinding kaca yang tembus pandang.Di dalam ruang itulah Bung Karno istirahat diapiti makam ayah dan ibundanya. Di batu nisan jelas terbaca tulisan: BUNG KARNO PROKLAMATOR KEMERDEKAAN DAN PRESIDEN PERTAMA REPUBLIK INDONESIA.

Mencermati tulisan tersebut, aku teringat guru sejarah ketika duduk di bangku SMA di Ruteng-Manggarai NTT. Beliau dengan semangat mengatakan bahwa Bung Karno itu adalah seorang pemipin besar yang diakui bangsa lain seantero dunia.Diberi julukan demikian karena kepemimpinannya baik pada waktu memimpin perjuangan maupun sesudah memimpin Negara selama 20 tahun. “Sebutan demikian tidaklah berarti beliau tidak pernah keliru. Sebagai manusia biasa tentu pernah salah dalam bertindak”, ujar guru sejarahku. Kata-kata ini terngiang –ngiang saat aku menaburkan bunga dan sekerat doa kukirim buat Bung Karno serta ayah bundanya.

Indormasi yang sempat dicatat, pada hari – hari tertentu ada yang dianggap sebagai hari yang penuh berkah  dan rahmat . “Banyak peziarah yang mengunjungi makam Bung Karno tidak hanya mengirim doa tetapi juga mohon berkah”,kata seorang warga yang ditemui penulis usai mengitari kompleks makam tersebut.

Sebelum keluar komplek penulis sempat berpose di depan makam sebagai bahan cerita untuk anak cucu di kemudian hari. Rekan – rekan saya pun meminta untuk mengabadikan peristiwa kunjungan itu. Ada yang lain menginginkan agar fotonya langsung jadi. “Yang barangkali agak kurang enak, seperti diceritakan di atas tadi, adalah kehadiran pengemis di seputar kompleks. Dengan berebut meminta menghalangi perjalanan orang”, demikian kesan seorang teman. “Selain itu, para penjual cindra mata yang berkumpul – kumpul di depan pintu masuk komplek makam. Padahal kalau ditunggu saja di pintu luar, pasti peziarah akan membeli seseuai dengan keinginannya”, sambung yng lainnya.

Di Blitar memang tidak sulit mencari barang-barang keinginan peziarah. Benda – benda kerajinan seperti asbak, yoyo, kinangan, lampu gantung, lampu temple, celengan, catur, dan kaos bergambar Bung Karno tersedia, tinggal kita pilih sesuai dengan keinginan kita.

Menyebut Blitar ternyata bukan hanya menyimpan nilai historis, Blitar pun menyimpan berbagai pesona. Boleh jadi, kehadirannya dan keberadaannya pun setiap hari para turisbaik wisatawan nusantara (wisnu) maupun  wisatawan mancanegara (wisman)  xsenatiasa mengunjungi kota yang menyerupai mutiara itu. Ia senantiasa memancarkan sinarnya ke seluruh pelosok dunia. Kapan Anda ke sana?  Ya, kalau ke Jawa Timur, jangan lupa jenguk Sang Proklamator Bung Karno, presiden pertama republik Indonesia.

Catatan: IUsman D.Ganggang kelahiran NTT, kini berdomisili di Kota Kesultanan Bima*)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar